Gerhana Bulan Total, 16 Juni 2011

Gerhana bulan di indonesia 16 juni 2011- cara shalat gerhana“Apakah kamu tidak memperhatikan penciptaan Tuhanmu bagaimana Dia memanjangkan dan (memendekkan bayang-bayang) dan kalau Dia menghendaki niscaya Dia jadikan tetap bayang-bayang itu. Kemudian Kami jadikan matahari sebagai penunjuk atas bayang-bayang itu. Kemudian Kami menarik bayang-bayang itu kepada Kami dengan tarikan yang perlahan-lahan.” (QS. Al-Furqaan : 45-46)

Pada tanggal 16 Juni 2011 dinihari waktu Indonesia barat, saat bulan purnama, akan terjadi gerhana bulan total. Gerhana ini akan dapat dilihat secara penuh di Sumatera dan sebagian Jawa. Sisanya di Jawa bagian timur, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua dan Nusa Tenggara, tidak mengalami seluruh fase gerhana. Walau demikian, tetap fase total gerhananya dapat diamati.

Gerhana akan dimulai pada pukul 00:23:05 WIB (17:23:05 UT), ditandai dengan mulai masuknya bulan ke penumbra (P1). Saat bulan berada di penumbra ini, tingkat kecerlangan bulan sudah berkurang sedikit. Biasanya perubahan kecerlangan seperti ini kurang terpantau oleh manusia, jadi bulan masih terlihat biasa-biasa saja. Sampai sejauh ini tak akan terlihat sesuatu yang istimewa.

Situasi tentunya akan berubah ketika puncak gerhana dimulai, yakni ketika bulan mulai masuk ke dalam umbra (U1), pada pukul 01:22:37 WIB. Perlahan, bulan yang tadinya bulat penuh mulai menggelap dari pinggirannya. Mirip seperti roti bundar yang sudah digigit. Jika saat gerhana anda berada di sekitar khatulistiwa dan menghadap ke barat, penggelapan bulan akan terlihat dimulai dari sebelah kiri atas.

Dan ketika seluruh piringan bulan sudah berada di dalam umbra (U2), sang bulan akan terlihat gelap kemerahan. Puncak gerhana akan berakhir begitu bulan mulai keluar dari umbra (U3). Seluruh bulan berada di dalam umbra mulai jam 02:22:11 WIB dan berakhir pada 04:03:02 WIB.

Gerhana sepenuhnya berakhir ketika bulan sudah keluar dari penumbra pukul 06:02:15 WIB. Bisa dilihat bahwa ini adalah gerhana bulan yang berlangsung dengan durasi yang panjang. Kita bisa mengamatinya sampai puas.

Ringkasnya untuk wilayah seluruh Indonesia:

Waktu Indonesia bagian Barat
  • Gerhana Penumbral dimulai : 00:24:34 wib
  • Gerhana Sebagian dimulai : 01:22:56 wib
  • Gerhana Total dimulai : 02:22:30 wib
  • Puncak Gerhana : 03:12:37 wib
  • Gerhana Total berakhir : 04:02:42 wib
  • Gerhana Sebagian berakhir : 05:02:15 wib
  • Gerhana Penumbral berakhir: 06:00:45 wib
Waktu Indonesia bagian tengah
  • Gerhana Penumbral dimulai : 01:24:34 wita
  • Gerhana Sebagian dimulai : 02:22:56 wita
  • Gerhana Total dimulai : 03:22:30 wita
  • Puncak Gerhana : 04:12:37 wita
  • Gerhana Total berakhir : 05:02:42 wita
  • Gerhana Sebagian berakhir : 06:02:15 wita
  • Gerhana Penumbral berakhir: 07:00:45 wita
Waktu Indonesia bagian timur
  • Gerhana Penumbral dimulai : 02:24:34 wit
  • Gerhana Sebagian dimulai : 03:22:56 wit
  • Gerhana Total dimulai : 04:22:30 wit
  • Puncak Gerhana : 05:12:37 wit
  • Gerhana Total berakhir : 06:02:42 wit
  • Gerhana Sebagian berakhir : 07:02:15 wit
  • Gerhana Penumbral berakhir: 08:00:45 wit
Kejadian gerhana matahari maupun bulan telah sering dialami oleh manusia sejak jaman dahulu kala. Tentu saja, sejalan dengan perkembangan intelektual dan ilmu pengetahuan yng dimiliki manusia, menyikapi terjadinya gerhana pun beragam.

Pada jaman dahulu, karena keterbatasan intelektual dan ilmu pengetahuan dan sejalan dengan keyakinan primitif manusia yang mengkaitkan setiap gejala alam dengan kekuatan-kekuatan supranatural, mitos-mitos dan keyakinan khurofat seputar gerhana pun muncul, yang tentu saja dengan timbangan syariat dan keyakinan agama hal ini bertentangan dengan aqidah yang benar.


Al Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan dari hadits Abu Mas’ ud Al Anshari berkata , “Terjadi gerhana matahari pada hari meninggalnya Ibrahim Bin Muhammad Sholallahu ‘ Alaihi Wasallam maka manusia mengatakan, “Terjadi gerhana matahari karena kematian Ibrahim”. Maka Rasulullah Sholallahu ‘ Alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah, keduanya tidak terkena gerhana karena kematian atau kehidupan seseorang, jika kalian melihat yang demikian itu, maka bersegeralah untuk ingat kepada

Allah dang mengerjakan Sholat” “.[1]

Dalam hadits lain dalam Ash Shahihain, , “Maka berdoalah kepada Allah dan kerjakanlah Sholat hingga matahari terang”.[2]


Dari Shahih Al Bukhari dari AbuMusa, (artinya), “Tanda-tanda yang Allah kirimkan ini bukanlah karena kematian atau kehidupan seseorang, tetapi Allah sedang manakut-nakuti hamba-hamba-Nya dengannya, maka jika kalian melihat sesuatu yang demikian itu, bersegeralah untuk mengingat Allah, berdo’ a dan meminta ampun kepada-Nya”.[3]


Tuntunan Syariat Islam Mengenai Terjadi Gerhana.

Kejadian gerhana, baik bulan maupun matahari, memang merupakan kejadian yang langka. Bisa jadi dalam rentang waktu bertahun-tahun. Karena kejadian yang langka ini, maka sebagiaan besar orang ingin menyaksikan fenomena itu dengan berbagai cara. Ada yang mengamati dengan menggunakan camera foto tertentu, kertas/plastik film atau ada juga yang menggunakan air sebagai cerminnya. Memang, melihat langsung kejadian itu tanpa alat yang dapat melindungi mata, berisiko kebutaan.

Bagi para ahli astronomi, pengamatan terjadinya gerhana biasanya menggunakan teropong dan dilakukan di pusat astronomi, seperti di Boscha Lembang. Mereka juga dapat menyiarkan langsung melalui media televisi kejadian tersebut ke seluruh tempat di dunia. Jadi, kita tidak perlu repot-repot untuk menyaksikan langsung. Melalui berita-berita pada sore atau malam hari, tayangan itu akan kita dapatkan kembali.

Islam sebagai ajaran yang lengkap tak luput juga menuntun kita untuk menyikapi kejadian itu dengan tuntuan syariat yang akan lebih meningkatkan ketauhidan dan aqidah islamiyah.

Pakar bahasa Arab, memberi istilah berbeda pada gerhana matahari dan bulan. Gerhana matahari mereka namakan dengan kusuf adalah artinya terhalangnya cahaya matahari atau berkurangnya cahaya matahari disebabkan bulan yang terletak di antara matahari dan bumi. Sedangkan khusuf sebutan untuk gerhana bulan.

Namun, ada pula yang berpendapat bahwa jika kusuf dan khusuf tidak disebut berbarengan, maka itu bermakna satu yaitu gerhana matahari atau gerhana bulan. Namun kalau kusuf dan khusuf disebut berbarengan, maka kusuf bermakna gerhana matahari, sedangkan khusuf bermakna gerhana bulan.

Dalam beberapa hadits, kadang menggunakan kata khusuf, namun yang dimaksudkan adalah gerhana matahari atau gerhana bulan karena khusuf pada saat itu disebutkan tidak berbarengan dengan kusuf.

Apa hukum Shalat Gerhana?

Mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum shalat gerhana matahari adalah sunnah mu’akkad (sunnah yang sangat ditekankan). Namun, menurut Imam Abu Hanifah, shalat gerhana dihukumi wajib. Imam Malik sendiri menyamakan shalat gerhana dengan shalat Jum’at. Kalau kita timbang-timbang, ternyata para ulama yang menilai wajib memiliki dalil yang kuat. Karena dari hadits-hadits yang menceritakan mengenai shalat gerhana mengandung kata perintah (jika kalian melihat gerhana tersebut, shalatlah: kalimat ini mengandung perintah). Mereka berpendapat bahwa menurut kaedah ushul fiqih, hukum asal perintah adalah wajib. Pendapat yang menyatakan wajib inilah yang dipilih oleh Asy Syaukani, Shodiq Khoon, dan Syaikh Al Albani rahimahumullah. Dalilnya adalah:


“Jika kalian melihat kedua gerhana yaitu gerhana matahari dan bulan, bersegeralah menunaikan shalat.” (HR. Bukhari no. 1047)

Terlepas dari beragam pendapat tentang hokum shalat gerhana, namun sebaiknya kita menunaikannya sebagai bentuk ketaatan pada Rasulullah.

Waktu Pelaksanaan Shalat Gerhana
Waktu pelaksanaan shalat gerhana adalah mulai ketika gerhana muncul sampai gerhana tersebut hilang.

Dari Al Mughiroh bin Syu’bah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Kedua gerhana tersebut tidak terjadi karena kematian atau lahirnya seseorang. Jika kalian melihat keduanya, berdo’alah pada Allah, lalu shalatlah hingga gerhana tersebut hilang (berakhir).” (HR. Bukhari no. 1060 dan Muslim no. 904)

Shalat gerhana juga boleh dilakukan pada waktu terlarang untuk shalat. Jadi, jika gerhana muncul setelah Ashar, padahal waktu tersebut adalah waktu terlarang untuk shalat, maka shalat gerhana tetap boleh dilaksanakan. Dalilnya adalah:

“Jika kalian melihat kedua gerhana matahari dan bulan, bersegeralah menunaikan shalat.” (HR. Bukhari no. 1047).

Dalam hadits ini tidak dibatasi waktunya. Kapan saja melihat gerhana termasuk waktu terlarang untuk shalat, maka shalat gerhana tersebut tetap dilaksanakan.

Hal-Hal yang Dianjurkan Ketika Terjadi Gerhana

Pertama: perbanyaklah dzikir, istighfar, takbir, sedekah dan bentuk ketaatan lainnya.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.” (HR. Bukhari no. 1044)


Kedua : keluar mengerjakan shalat gerhana secara berjama’ah di masjid.

Salah satu dalil yang menunjukkan hal ini sebagaimana dalam hadits dari ‘Aisyah : bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengendari kendaraan di pagi hari lalu terjadilah gerhana. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati kamar istrinya (yang dekat dengan masjid), lalu beliau berdiri dan menunaikan shalat. (HR. Bukhari no. 1050). Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi tempat shalatnya (yaitu masjidnya) yang biasa dia shalat di situ. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/343)

Ibnu Hajar mengatakan, “Yang sesuai dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengerjakan shalat gerhana di masjid. Seandainya tidak demikian, tentu shalat tersebut lebih tepat dilaksanakan di tanah lapang agar nanti lebih mudah melihat berakhirnya gerhana.” (Fathul Bari, 4/10)


Lalu apakah mengerjakan dengan jama’ah merupakan syarat shalat gerhana? Perhatikan penjelasan menarik berikut.

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin mengatakan, “Shalat gerhana secara jama’ah bukanlah syarat. Jika seseorang berada di rumah, dia juga boleh melaksanakan shalat gerhana di rumah". Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Jika kalian melihat gerhana tersebut, maka shalatlah.” (HR. Bukhari no. 1043)

Dalam hadits ini, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan, “(Jika kalian melihatnya), shalatlah kalian di masjid.” Oleh karena itu, hal ini menunjukkan bahwa shalat gerhana diperintahkan untuk dikerjakan walaupun seseorang melakukan shalat tersebut sendirian. Namun, tidak diragukan lagi bahwa menunaikan shalat tersebut secara berjama’ah tentu saja lebih utama (afdhol). Bahkan lebih utama jika shalat tersebut dilaksanakan di masjid karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat tersebut di masjid dan mengajak para sahabat untuk melaksanakannya di masjid. Ingatlah, dengan banyaknya jama’ah akan lebih menambah kekhusu’an. Dan banyaknya jama’ah juga adalah sebab terijabahnya (terkabulnya) do’a.”


Ketiga : wanita juga boleh shalat gerhana bersama kaum pria. Dari Asma` binti Abi Bakr, beliau berkata,

“Saya mendatangi Aisyah radhiyallahu ‘anha -isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika terjadi gerhana matahari. Saat itu manusia tengah menegakkan shalat. Ketika Aisyah turut berdiri untuk melakukan sholat, saya bertanya: ‘Kenapa orang-orang ini?’ Aisyah mengisyaratkan tangannya ke langit seraya berkata, ‘Subhanallah (Maha Suci Allah).’ Saya bertanya: ‘Tanda (gerhana)?’ Aisyah lalu memberikan isyarat untuk mengatakan iya.” (HR. Bukhari no. 1053)

Keempat : menyeru jama’ah dengan panggilan “ash sholatu jaami’ah” dan tidak ada adzan maupun iqomah.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,

“Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk memanggil jama’ah dengan: ‘ASH SHALATU JAMI’AH’ (mari kita lakukan shalat berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul. Nabi lalu maju dan bertakbir. Beliau melakukan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at.” (HR. Muslim no. 901).

Dalam hadits ini tidak diperintahkan untuk mengumandangkan adzan dan iqomah. Jadi, adzan dan iqomah tidak ada dalam shalat gerhana.

Kelima : berkhutbah setelah shalat gerhana.

Disunnahkah setelah shalat gerhana untuk berkhutbah, sebagaimana yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Ishaq, dan banyak sahabat (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/435). Hal ini berdasarkan hadits:

Dari Aisyah, beliau menuturkan bahwa gerhana matahari pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan mengimami manusia dan beliau memanjangkan berdiri. Kemuadian beliau ruku’ dan memperpanjang ruku’nya. Kemudian beliau berdiri lagi dan memperpanjang berdiri tersebut namun lebih singkat dari berdiri yang sebelumnya. Kemudian beliau ruku’ kembali dan memperpanjang ruku’ tersebut namun lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya. Kemudian beliau sujud dan memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at berikutnya, beliau mengerjakannya seperti raka’at pertama. Lantas beliau beranjak (usai mengerjakan shalat tadi), sedangkan matahari telah nampak. Setelah itu beliau berkhotbah di hadapan orang banyak, beliau memuji dan menyanjung Allah, kemudian bersabda, “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.” Nabi selanjutnya bersabda, “Wahai umat Muhammad, demi Allah, tidak ada seorang pun yang lebih cemburu daripada Allah karena ada seorang hamba baik laki-laki maupun perempuan yang berzina. Wahai Umat Muhammad, demi Allah, jika kalian mengetahui yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” (HR. Bukhari, no. 1044)

Khutbah yang dilakukan adalah sekali sebagaimana shalat ‘ied, bukan dua kali khutbah. Inilah pendapat yang benar sebagaimana dipilih oleh Imam Asy Syafi’i.


Tata Cara Shalat Gerhana

Shalat gerhana dilakukan sebanyak dua raka’at dan ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun, para ulama berbeda pendapat mengenai tata caranya. Ada yang mengatakan bahwa shalat gerhana dilakukan sebagaimana shalat sunnah biasa, dengan dua raka’at dan setiap raka’at ada sekali ruku’, dua kali sujud. Ada juga yang berpendapat bahwa shalat gerhana dilakukan dengan dua raka’at dan setiap raka’at ada dua kali ruku’, dua kali sujud. Pendapat yang terakhir inilah yang dipilih oleh mayoritas ulama. Sebagaimana HR. Bukhari, no. 1044 diatas.

Ringkasnya, tata cara shalat gerhana adalah sebagai berikut:
  1. Berniat di dalam hati
  2. Takbiratul ihram yaitu bertakbir sebagaimana shalat biasa.
  3. Membaca do’a iftitah dan berta’awudz, kemudian membaca surat Al Fatihah dan membaca surat yang panjang (seperti surat Al Baqarah) sambil dijaherkan (dikeraskan suaranya, bukan lirih) sebagaimana terdapat dalam hadits Aisyah: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjaharkan (mengeraskan) bacaannya ketika shalat gerhana.” (HR. Bukhari no. 1065 dan Muslim no. 901)
  4. Kemudian ruku’ sambil memanjangkannya.
  5. Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal) sambil mengucapkan ‘SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, RABBANA WA LAKAL HAMD‘
  6. Setelah i’tidal ini tidak langsung sujud, namun dilanjutkan dengan membaca surat Al Fatihah dan surat yang panjang. Berdiri yang kedua ini lebih singkat dari yang pertama.
  7. Kemudian ruku’ kembali (ruku’ kedua) yang panjangnya lebih pendek dari ruku’ sebelumnya.
  8. Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal).
  9. Kemudian sujud yang panjangnya sebagaimana ruku’, lalu duduk di antara dua sujud kemudian sujud kembali.
  10. Kemudian bangkit dari sujud lalu mengerjakan raka’at kedua sebagaimana raka’at pertama hanya saja bacaan dan gerakan-gerakannya lebih singkat dari sebelumnya.
  11. Salam.
  12. Setelah itu imam menyampaikan khutbah kepada para jama’ah yang berisi anjuran untuk berdzikir, berdo’a, beristighfar, sedekah, dan membebaskan budak. (tanpa khutbah untuk shalatnya yang dikerjakan sendirian)
Fenomena kejadian gerhana merupakan bukti kebesaran Allah yang ditunjukkan kepada makhluk-Nya untuk dijadikan bahan tafakkur. Gerhana sering juga disebut sebagai gejala alam yangbisa diprediksi kapan kejadiannya. Namun, semua itu adalah kehendak Allah. Bagi Dia bisa saja andaikata tidak mengembalikan posisi bulan dan matahari sebagaimana sebelumnya.

Quote Islam

Comments

Popular Posts